PLTU Tembilahan Membantah Dapat Pasokan Biomassa Co-Firing Batu Bara dari Kayu Mangrove

PLTU Tembilahan membantah dapat pasokan biomassa co-firing dari kayu mangrove di pesisir pantai Indragiri Hilir, Riau. Foto: PLN
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Pihak manajemen Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tembilahan membantah mendapat pasokan biomassa co-firing batu bara dari kayu hasil penebangan mangrove di pesisir pantai Indragiri Hilir, Riau. Bantahan ini menyusul pemberitaan yang menyebut adanya pasokan kayu mangrove untuk keperluan PLTU.
Zais Ariyono, Manajer Unit PLTU Tembilahan menjelaskan, penyediaan bahan baku biomassa PLTU Tembilahan dilaksanakan oleh rekanan yang ditunjuk oleh PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI). Menurutnya, rekanan tersebut merupakan entitas badan usaha tersendiri dan terpisah dari PLTU Tembilahan.
BERITA TERKAIT: Waduh! PLTU Tembilahan Dikabarkan Pakai Kayu Mangrove, Picu Penebangan di Kawasan Pesisir Indragiri Hilir
Ia menyebut, proses pengumpulan bahan baku, penebangan kayu, penyimpanan, dan proses pencacahan dilakukan oleh pihak rekanan, dan tidak dilakukan di area PLTU Tembilahan.
"Tidak benar jika ada informasi yang beredar menyatakan bahwa terdapat gudang penyimpanan kayu di area PLTU Tembilahan," kata Zais Ariyono dalam keterangan tertulis diterima redaksi SabangMerauke News, Rabu (15/5/2024).
Zais mengklaim, biomassa yang digunakan PLTU Tembilahan bukan berasal dari daftar jenis pohon yang dilindungi, bukan tanaman dari kawasan konservasi atau bukan berasal dari ilegal logging. Hal tersebut katanya, sudah tertuang dalam poin kontrak antara rekanan penyedia biomassa dan PT PLN EPI.
"Apabila terbukti bahwa rekanan penyedia biomassa memasok biomassa yang berasal dari jenis tanaman yang dilindungi, tanaman kawasan konservasi atau tanaman hasil ilegal logging, maka PLTU Tembilahan tidak menerima biomassa tersebut," terang Zais.
Sebelumnya diwartakan, PLTU Batu Bara Tembilahan diduga menggunakan kayu mangrove sebagai bahan baku co-firing pembangkit listrik. Penyediaan kayu mangrove untuk kebutuhan PLTU ini memicu penebangan di kawasan pesisir Indragiri Hilir (Inhil).
Berdasarkan informasi yang diterima awak media, diduga kayu dan bagian dahan mangrove dipasok oleh penyedia tertentu ke PLTU Tembilahan. Akibatnya, penebangan kayu mangrove diduga tanpa izin berdampak pada kerusakan daerah pesisir Inhil.
Menurut narasumber yang tak ingin disebut namanya, ada permintaan kayu dengan spesifikasi ukuran panjang 2 meter. Diduga kayu itu dibeli dengan harga per kilogram oleh pihak PLTU Tembilahan yang terletak di daerah Parit 21.
Kayu tersebut diduga dikumpulkan di sebuah gudang yang berada di wilayah PLTU Tembilahan.
Pemerhati lingkungan di Tembilahan, Zulkifli AM menyayangkan jika kabar penebangan mangrove untuk kebutuhan PLTU Tembilahan itu benar terjadi.
"Kita sangat menyayangkan jika benar PLTU Tembilahan menggunakan mangrove sebagai bahan bakar campuran batu bara. Semestinya ada alternatif lain, bukan malah menggunakan mangrove," kata Zulkifli yang tergabung dalam organisasi Bangun Desa Payung Negeri (BDPN) Inhil ini.
Zulkifli menjelaskan, selama ini pihaknya terus melakukan upaya pemeliharaan mangrove sebagai aset berharga bagi Inhil bahkan dunia internasional. Keberadaan mangrove sangat vital mengurangi laju pemanasan global (climate change) serta sumber oksigen bagi makhluk hidup.
"Kita sudah berusaha menjaga dan melestarikan mangrove. Tapi, jika mangrove dipakai untuk bahan baku PLTU, maka hal ini sangat disayangkan sekali," tegasnya.
Sebelumnya pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut Nasional (BRGM) telah melakukan upaya rehabilitasi penanaman mangrove di wilayah perairan Inhil agar kembali pulih dan membawa manfaat konservasi serta ekologi.
Kabar adanya penebangan mangrove untuk kebutuhan co-firing PLTU batu bara di Tembilahan ini seakan kontradiktif dengan kampanye penanaman mangrove oleh pemerintah pusat. Soalnya, pemulihan habitat mangrove membutuhkan waktu hingga belasan tahun.
PLTU Batu Bara Tembilahan memiliki kapasitas produksi listrik 2x7 megawatt. Pembangkit listrik berbasis fosil ini menjadi salah satu pilot project transisi energi dengan penggunaan biomassa (co-firing) dicampur batu bara untuk pengendalian laju karbon. (R-03)